Minggu, 31 Agustus 2008

Serosis Hepatis

1. Pengertian
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).

2. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam hati :
1. Sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh alkoholis kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).
Bagian hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang dikelilingi oleh jaringan parut.

3. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan Anemia. Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.



4. Patofisiologi
Konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.

5. Proses Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis
• Pengkajian
Pengkajian keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan riwayat faktor-faktor pencetus, khususnya penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola penggunaan alkohol yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan jumlahnya) dikaji serta dicatat. Yang juga harus dicatat adalah riwayat kontak dengan zat-zat toksik di tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan dengan obat-obat yang potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat anestesi umum dicatat dan dilaporkan.
Status mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga, sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan kemampuan yang terjadi sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.
Status nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui penimbangan berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan pemantauan protein plasma, transferin, serta kadar kreatinin.

Intervensi Keperawatan Rasional Hasil yang diharapkan
Diagnosa Keperawatan : intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan : peningkatan energi dan partisipasi dalam aktivitas.
1. Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
3. Motivasi pasien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat


4. Motivasi dan bantu pasien untuk melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap 1. Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses penyembuhan.
2. Memberikan nutrien tambahan.
3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
4. Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya diri • Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan pasien.
• Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat yang cukup.
• Meningkatkan aktivitas dan latihan bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
• Memperlihatkan asupan nutrien yang adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
Diagnosa keperawatan : perubahan suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
Tujuan : pemeliharaan suhu tubuh yang normal.
1. Catat suhu tubuh secara teratur.

2. Motivasi asupan cairan




3. Lakukan kompres dingin atau kantong es untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.

4. Berikan antibiotik seperti yang diresepkan.


5. Hindari kontak dengan infeksi.


6. Jaga agar pasien dapat beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi. 1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan evaluasi intervensi.
2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3. Menurunkan panas melalui proses konduksi serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi, suhu tubuh serta laju metabolik.
6. Mengurangi laju metabolik. • Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala menggigil atau perspirasi.
• Memperlihatkan asupan cairan yang adekuat.
Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan : memperbaiki integritas kulit dan proteksi jaringan yang mengalami edema.
1. Batasi natrium seperti yang diresepkan.
2. Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.


3. Balik dan ubah posisi pasien dengan sering.


4. Timbang berat badan dan catat asupan serta haluaran cairan setiap hari.
5. Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas edematus.
6. Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya. 1. Meminimalkan pembentukan edema.
2. Jaringan dan kulit yang edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3. Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan mobilisasi edema.
4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang paling baik.
5. Meningkatkan mobilisasi edema.
6. Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar. • Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan batang tubun.
• Tidak memperlihatkan luka pada kulit.
• Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema, perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
• Mengubah posisi dengan sering.
Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ikterus dan status imunologi yang terganggu.
Tujuan : Memperbaiki integritas kulit dan meminimalkan iritasi kulit.
1. Observasi dan catat derajat ikterus pada kulit dan sklera.
2. Lakukan perawatan yang sering pada kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion pelembut (emolien).
3. Jaga agar kuku pasien selalu pendek. 1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan dan evaluasi intervensi.
2. Mencegah kekeringan kulit dan meminimalkan pruritus.
3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat garukan. • Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa terlihat luka atau infeksi.
• Melaporkan tidak adanya pruritus.
• Memperlihatkan pengurangan gejala ikterus pada kulit dan sklera.
• Menggunakan emolien dan menghindari pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
Diagnosa keperawatan : Perubahan status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
Tujuan : Perbaikan status nutrisi.
1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan suplemen makanan.
2. Tawarkan makan makanan dengan porsi sedikit tapi sering.
3. Hidangkan makanan yang menimbulkan selera dan menarik dalam penyajiannya.
4. Pantang alkohol.
5. Pelihara higiene oral sebelum makan.
6. Pasang ice collar untuk mengatasi mual.
7. Berikan obat yang diresepkan untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan gastrointestinal. 1. Motivasi sangat penting bagi penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2. Makanan dengan porsi kecil dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3. Meningkatkan selera makan dan rasa sehat.
4. Menghilangkan makanan dengan “kalori kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan merangsang selera makan.
6. Dapat mengurangi frekuensi mual.
7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan terhadap makanan.
8. Meningkatkan pola defekasi yang normal dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen.

9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal yang serius. • Memperlihatkan asupan makanan yang tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
• Mengenali makanan dan minuman yang bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
• Bertambah berat tanpa memperlihatkan penambahan edema dan pembentukan asites.
• Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
• Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.
• Menyisihkan alkohol dari dalam diet.
• Turut serta dalam upaya memelihara higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
• Menggunakna obat kelainan gastrointestinal seperti yang diresepkan.
• Melaporkan fungsi gastrointestinal yang normal dengan defekasi yang teratur.
• Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan yang nyata.
Diagnosa keperawatan : Resiko cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
Tujuan : Pengurangan resiko cedera.
1. Amati setiap feses yang dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.
2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi.
4. Amati manifestasi hemoragi: ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5. Catat tanda-tanda vital dengan interval waktu tertentu.
6. Jaga agar pasien tenang dan membatasi aktivitasnya.
7. Bantu dokter dalam memasang kateter untuk tamponade balon esofagus.
8. Lakukan observasi selama transfusi darah dilaksanakan.
9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah muntahan.
10. Pertahankan pasien dalam keadaan puasa jika diperlukan.
11. Berikan vitamin K seperti yang diresepkan.
12. Dampingi pasien secara terus menerus selama episode perdarahan.
13. Tawarkan minuman dingin lewat mulut ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan).
14. Lakukan tindakan untuk mencegah trauma :
1. Mempertahankan lingkungan yang aman.
2. Mendorong pasien untuk membuang ingus secara perlahan-lahan.
3. Menyediakan sikat gigi yang lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.
4. Mendorong konsumsi makanan dengan kandungan vitamin C yang tinggi.
5. Melakukan kompres dingin jika diperlukan.
6. Mencatat lokasi tempat perdarahan.
7. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan penyuntikan.
15. Berikan obat dengan hati-hati; pantau efek samping pemberian obat. 1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam traktus gastrointestinal.
2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini perdarahan dan syok.
3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan adanya perdarahan.
4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme pembekuan darah.
5. Memberikan dasar dan bukti adanya hipovolemia dan syok.
6. Meminimalkan resiko perdarahan dan mengejan.
7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.
8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi (resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)
9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan dan kehilangan darah.
10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.
11. Meningkatkan pembekuan dengan memberikan vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.
13. Mengurangi resiko perdarahan lebih lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung.
14. Meningkatkan keamanan pasien.
1. Mengurangi resiko trauma dan perdarahan dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.
2. Mengurangi resiko epistaksis sekunder akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.
3. Mencegah trauma pada mukosa oral sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.
4. Meningkatkan proses penyembuhan.
5. Mengurangi perdarahan ke dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal.
6. Memungkinkan deteksi tempat perdarahan yang baru dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya.
7. Meminimalkan perambesan dan kehilangan darah akibat penyuntikan yang berkali-kali.
15. Mengurangi resiko efek samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.

• Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus gastrointestinal.
• Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
• Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan tersembunyi gastrointestinal.
• Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan hematom.
• Memperlihatkan tanda-tanda vital yang normal.
• Mempertahankan istirahat dalam keadaan tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
• Mengenali rasional untuk melakukan transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.
• Melakukan tindakan untuk mencegah trauma (misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan pada saat defekasi).
• Tidak mengalami efek samping pemberian obat.
• Menggunakan semua obat seperti yang diresepkan.
• Mengenali rasional untuk melakukan tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
Diagnosa keperawatan : Nyeri dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri tekan dan asites.
Tujuan : Peningkatan rasa kenyamanan.
1. Pertahankan tirah baring ketika pasien mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
2. Berikan antipasmodik dan sedatif seperti yang diresepkan.
3. Kurangi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan. 1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan melindungi hati.
2. Mengurangi iritabilitas traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
3. Memberikan dasar untuk mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi intervensi.
4. Meminimalkan pembentukan asites lebih lanjut. • Mempertahankan tirah baring dan mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
• Menggunakan antipasmodik dan sedatif sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
• Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman pada abdomen.
• Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa nyaman jika terasa.
• Mengurangi asupan natrium dan cairan sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.
• Merasakan pengurangan rasa nyeri.
• Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
• Memperlihatkan pengurangan lingkar perut dan perubahan berat badan yang sesuai.
Diagnosa keperawatan : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
Tujuan : Pemulihan kepada volume cairan yang normal.
1. Batasi asupan natrium dan cairan jika diinstruksikan.
2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan protein seperti yang dipreskripsikan.
3. Catat asupan dan haluaran cairan.
4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari.
5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan cairan. 1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.
4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan penumpukan cairan.
5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan. • Mengikuti diet rendah natrium dan pembatasan cairan seperti yang diinstruksikan.
• Menggunakan diuretik, suplemen kalium dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping.
• Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.
• Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.
• Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan cairan.
Diagnosa keperawatan : Perubahan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.
Tujuan : Perbaikan status mental.
1. Batasi protein makanan seperti yang diresepkan.
2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam porsi kecil tapi sering.
3. Berikan perlindungan terhadap infeksi.
4. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat dan bebas dari angin.
5. Pasang bantalan pada penghalang di samping tempat tidur.
6. Batasi pengunjung.
7. Lakukan pengawasan keperawatan yang cermat untuk memastikan keamanan pasien.
8. Hindari pemakaian preparat opiat dan barbiturat.
9. Bangunkan dengan interval. 1. Mengurangi sumber amonia (makanan sumber protein).
2. Meningkatkan asupan karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan” protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga.
3. Memperkecil resiko terjadinya peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.
4. Meminimalkan gejala menggigil karena akan meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Memberikan perlindungan kepada pasien jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
6. Meminimalkan aktivitas pasien dan kebutuhan metaboliknya.
7. Melakukan pemantauan ketat terhadap gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien yang mengalami gejala konfusi.
8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.
9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien. • Memperlihatkan perbaikan status mental.
• Memperlihatkan kadar amonia serum dalam batas-batas yang normal.
• Memiliki orientasi terhadap waktu, tempat dan orang.
• Melaporkan pola tidur yang normal.
• Menunjukkan perhatian terhadap kejadian dan aktivitas di lingkungannya.
• Memperlihatkan rentang perhatian yang normal.
• Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat.
• Melaporkan kontinensia fekal dan urin.
• Tidak mengalami kejang.
Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan : Perbaikan status pernapasan.
1. Tinggalkan bagian kepala tempat tidur.
2. Hemat tenaga pasien.
3. Ubah posisi dengan interval.
4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis atau torakosentesis.
1. Berikan dukungan dan pertahankan posisi selama menjalani prosedur.
2. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang diaspirasi.
3. Melakukan observasi terhadap bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi. 1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi pada semua bagian paru).
4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.
2. Menghasilkan catatan tentang cairan yang dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan.
3. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura). • Mengalami perbaikan status pernapasan.
• Melaporkan pengurangan gejala sesak napas.
• Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa sehat.
• Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
• Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala pernapasan dangkal.
• Memperlihatkan gas darah yang normal.
• Tidak mengalami gejala konfusi atau sianosis.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.

Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.

Askep Asma

PengertianAsma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).Dari ketiga pendapat tersebut dapat diketahui bahwa asma adalah suatu penyakit gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas.EtiologiAsma adalah suatu obstruktif jalan nafas yang reversibel yang disebabkan oleh :1) Kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi penyempitan jalan nafas.2) Pembengkakan membran bronkus.3) Terisinya bronkus oleh mukus yang kental.PatofisiologiProses perjalanan penyakit asma dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu alergi dan psikologis, kedua faktor tersebut dapat meningkatkan terjadinya kontraksi otot-otot polos, meningkatnya sekret abnormal mukus pada bronkriolus dan adanya kontraksi pada trakea serta meningkatnya produksi mukus jalan nafas, sehingga terjadi penyempitan pada jalan nafas dan penumpukan udara di terminal oleh berbagai macam sebab maka akan menimbulkan gangguan seperti gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru, gangguan difusi gas di tingkat alveoli.Tiga kategori asma alergi (asma ekstrinsik) ditemukan pada klien dewasa yaitu yang disebabkan alergi tertentu, selain itu terdapat pula adanya riwayat penyakit atopik seperti eksim, dermatitis, demam tinggi dan klien dengan riwayat asma. Sebaliknya pada klien dengan asma intrinsik (idiopatik) sering ditemukan adnya faktor-faktor pencetus yang tidak jelas, faktor yang spesifik seperti flu, latihan fisik, dan emosi (stress) dapat memacu serangan asma.
Manipestasi klinikManifestasi klinik pada pasien asma adalah batuk, dyspne, dari wheezing.Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :1) Tingkat I :a) Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.b) Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun dengan test provokasi bronkial di laboratorium.2) Tingkat II :a) Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.b) Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.3) Tingkat III :a) Tanpa keluhan.b) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.c) Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4) Tingkat IV :a) Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.b) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.5) Tingkat V :a) Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.b) Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel.Pada asma yang berat dapat timbul gejala seperti :Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran, penderita tampak letih, taki kardi.
Klasifikasi asmaAsma dibagi atas dua kategori, yaitu ekstrinsik atau alergi yang disebabkan oleh alergi seperti debu, binatang, makanan, rokok dan obat-obatan. Klien dengan asma alergi biasanya mempunyai riwayat keluarga dengan alergi dan riwayat alergi rhinitis, sedangkan non alergi tidak berhubungan secara spesifik dengan alergen.Faktor-faktor seperti udara dingin, infeksi saluran pernafasan, exercise, emosi dan lingkungan dengan polusi dapat menyebabkan atau sebagai pencetus terjadinya serangan asma. Jika serangan non alergi asma menjadi lebih berat dan sering dapat menjadi bronkhitis kronik dan emphysema selain alergi juga dapat terjadi asma campuran yaitu alergi dan non alergi.
PenatalaksanaanPrinsip umum dalam pengobatan pada asma bronhiale :a. Menghilangkan obstruksi jalan nafasb. Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan asma.c. Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan maupun penjelasan penyakit.Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :a. Pengobatan dengan obat-obatanSeperti :1) Beta agonist (beta adnergik agent)2) Methylxanlines (enphy bronkodilator)3) Anti kounergik (bronkodilator)4) Kortikosterad5) Mart cell inhibitor (lewat inhalasi)b. Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :1) Oksigen 4-6 liter/menit.2) Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap 30 menit-1 jam. Pemberian agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5% yang dan berikan perlahan.3) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12 jam.4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon segera atau klien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat berat.
Pemeriksaan penunjangBeberapa pemeriksaan penunjang seperti :a. Spirometri :Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.b. Tes provokasi :4) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.5) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.6) Tes provokasi bronkial seperti :Tes provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin dan inhalasi dengan aquci destilata.7) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam tubuh.c. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.d. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.e. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.f. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.g. Pemeriksaan sputum.
KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah pneumotoraks, atelektasis, gagal nafas, bronkhitis dan fraktur iga.
Pengkajiana. Identitas klien1) Riwayat kesehatan masa lalu : riwayat keturunan, alergi debu, udara dingin2) riwayat kesehatan sekarang : keluhan sesak napas, keringat dingin.3) Status mental : lemas, takut, gelisah4) Pernapasan : perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan.5) Gastro intestinal : adanya mual, muntah.6) Pola aktivitas : kelemahan tubuh, cepat lelahb. Pemeriksaan fisikDada1) Contour, Confek, tidak ada defresi sternuum2) Diameter antero posterior lebih besar dari diameter trnsversal3) Keabnormalan struktur Thorax4) Contour dada simetris5) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna merata6) RR dan ritme selama satu menit.Palpasi :1) Temperaur kulit2) Premitus : Pibrasi dada3) Pengembangan dada4) Krefitasi5) Masa6) EdemaAuskultasi1) Vesikuler2) Broncho vesikuler3) Hyper ventilasi4) Rochi5) Whizing6) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.c. Pemeriksaan penunjang1) Spirometri :Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.2) Tes provokasi :a) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.b) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.c) Tes provokasi bronkialUntuk menunjang adanya hiperaktivitas broncus , test provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat test spirometri. Test provokasi bronchial seperti : Test provokasi histamin, metakolin, alergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin dan inhalasi dengan aquaci destilata.3) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam tubuh.4) Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.5) Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.6) Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.7) Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.8) Pemeriksaan sputum.
Diagnosa 1 :Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.Tujuan :Jalan nafas kembali efektif.Kriteria hasil : -Sesak berkurang, batuk berkurang, klien dapat mengeluarkan sputum, wheezing berkurang/hilang, vital dalam batas normal keadaan umum baik.Intervensi :a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : merigi, erekeis, ronkhi.R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).b. Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.c. Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada sandaran.R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.d. Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk keefektipan memperbaiki upaya batuk.R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit akut/kelemahan.e. Berikan air hangat.R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.f. Kolaborasi obat sesuai indikasi.Bronkodilator spiriva 1x1 (inhalasi).R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.
Diagnosa 2 :Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.Tujuan :Pola nafas kembali efektif.Kriteria hasil :Pola nafas efektif, bunyi nafas normal atau bersih, TTV dalam batas normal, batuk berkurang, ekspansi paru mengembang.Intervensi :1. Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.R/ kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti crekels, mengi.R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.3. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.R/ duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.4. Observasi pola batuk dan karakter sekret.R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.5. Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.R/ dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak nyaman upaya bernafas.6. Kolaborasi- Berikan oksigen tambahan- Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizerR/ memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.
Diagnosa 3 :Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat.Tujuan :Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.Kriteria hasil :Keadaan umum baik, mukosa bibir lembab, nafsu makan baik, tekstur kulit baik, klien menghabiskan porsi makan yang disediakan, bising usus 6-12 kali/menit, berat badan dalam batas normal.Intervensi :1. Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).R/ menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya.2. Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.R/ petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan.3. timbang berat badan dan tinggi badan.R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.4. Anjurkan klien minum air hangat saat makan.R/ air hangat dapat mengurangi mual.5. Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi seringR/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien.6. Kolaborasi- Consul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.R/ menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.- Berikan obat sesuai indikasi.- Vitamin B squrb 2x1.R/ defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.- antiemetik rantis 2x1R/ untuk menghilangkan mual / muntah.
Diagnosa 4 :Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.Tujuan :Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.Kriteria hasil :k/u klien baik, badan tidak lemas, klien dapat beraktivitas secara mandiri, kekuatan otot terasa pada sekala sedangIntervensi :1. Evaluasi respons pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dyspnea peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.R/ menetapkan kebutuhan/kemampuan pasien dan memudahkan pilihan intervensi.2. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.R/ Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.3. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.R/ pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi atau menunduk kedepan meja atau bantal.4. Bantu aktivitas keperawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.R/ meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.5. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.R/ menurunkan stress dan rangsangan berlebihan menaikan istirahat.
Diagnosa 5 :Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan kurangnya informan.Tujuan :Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah.Kriteria hasil :Mencari tentang proses penyakit :- Klien mengerti tentang definisi asma- Klien mengerti tentang penyebab dan pencegahan dari asma- Klien mengerti komplikasi dari asmaIntervensi :1. Diskusikan aspek ketidak nyamanan dari penyakit, lamanya penyembuhan, dan harapan kesembuhan.R/ informasi dapat manaikan koping dan membantu menurunkan ansietas dan masalah berlebihan.2. Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.R/ kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk mangasimilasi informasi atau mengikuti program medik.3. Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif atau latihan pernafasan.R/ selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien beresiko besar untuk kambuh dari penyakitnya.4. Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan pelaporan pemberi perawatan kesehatan.R/ upaya evaluasi dan intervensi tepat waktu dapat mencegah meminimalkan komplikasi.5. Buat langkah untuk meningkatkan kesehatan umum dan kesejahteraan, misalnya : istirahat dan aktivitas seimbang, diet baik.R/ menaikan pertahanan alamiah atau imunitas, membatasi terpajan pada patogen.
Evaluasia. Jalan nafas kembali efektif.b. Pola nafas kembali efektif.c. Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.d. Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.e. Pengetahuan klien tentang proses penyakit menjadi bertambah.

Trauma Toraks II: Kelainan Spesifik

TRAUMA PADA DINDING DADA


FRAKTUR IGA
Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga.
Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena)
Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII
Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula.

Penatalaksanaan
1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
• Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
• Bronchial toilet
• Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
• Cek Foto Ro berkala

Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti: pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala), sehingga dapat menghindari morbiditas/komplikasi.
Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang umumnya akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat.


FRAKTUR KLAVIKULA
• Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi bahu ).
• Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)
• Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.
• Foto Rontgen tampak fraktur klavikula

Penatalaksanaan
1. Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika.
2. Operatif : fiksasi internal

Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia.


FRAKTUR STERNUM
• Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan.
• Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar
• Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum
• Sering disertai fraktur Iga.
• Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti: kontusio/laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta.

Tanda dan gejala: nyeri terutama di area sternum, krepitasi
Pemeriksaan
• Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran sternum yang tumpang tindih.
• Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda trauma jantung).

Penatalaksanaan
1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung
2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum.


DISLOKASI SENDI STERNOKLAVIKULA
• Kasus jarang
• Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi sternoklavikula) menonjol kedepan
• Posterior : sendi tertekan kedalam
• Pengobatan : reposisi


FLAIL CHEST
Definisi
Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.

Karakteristik
• Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator
• Menunjukkan trauma hebat
• Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)

Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.

Penatalaksanaan
• sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
• pain control
• stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
• bronchial toilet
• fisioterapi agresif
• tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet

Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
2. Gagal/sulit weaning ventilator
3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
5. Menghindari cacat permanen

Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area "flail"


TRAUMA PADA PLEURA DAN PARU

PNEUMOTORAKS
• Definisi : Adanya udara yang terperangkap di rongga pleura.
• Pneumotoraks akan meningkatkan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru.
• Terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks.
• Dapat pula terjadi karena perlukaan pleura viseral (barotrauma), atau perlukaan pleura mediastinal (trauma trakheobronkhial)
• Diklasifikasikan menjadi 3 : simpel, tension, open

Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
• Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
• Tidak ada mediastinal shift
• PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓

Penatalaksanaan: WSD

Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
• Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea → venous return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
• Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis
• Merupakan keadaan life-threatening → tdk perlu Ro

Penatalaksanaan:
1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
2. WSD

Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.
Dikenal juga sebagai sucking-wound
Terjadi kolaps total paru.

Penatalaksanaan:
1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

HEMATOTORAKS (HEMOTORAKS)

• Defini: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada.
• Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.
• Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan depresi pernapasan

Pemeriksaan
• Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)
• Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru
• Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks

Indikasi Operasi
Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD)
• Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah kejadian trauma.
• Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut
• Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut
• Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam

Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD:
• ≥ 200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut
• ≥ 300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut
• ≥ 500 cc dalam ≤ 1 jam

Penatalaksanaan
Tujuan:
• Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.
• Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.

Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk menghentikan perdarahan



Water Sealed Drainage

Fungsi WSD sebagai alat:
1. Diagnostik
2. Terapetik
3. Follow-up

Tujuan:
1. Evakuasi darah/udara
2. Pengembangan paru maksimal
3. Monitoring

Indikasi pemasangan:
• Pneumotoraks
• Hematotoraks
• Empiema
• Effusi pleura lainnya
• Pasca operasi toraks
• Monitoring perdarahan, kebocoran paru atau bronkhus, dsb.

Tindakan :
• Lokasi di antara garis aksilaris anterior dan posterior pada sela iga V atau VI.
• Pemasangan dengan teknik digital tanpa penggunaan trokar.

Indikasi pencabutan WSD :
1. Tercapai kondisi: produksi < 50 cc/hari selama 3 hari berturut-turut, dan undulasi negatif atau minimal, dan pengembangan paru maksimal.
2. Fungsi WSD tidak efektif lagi (misal: adanya sumbatan, clot pada selang, dsb.)



KONTUSIO PARU
• Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks
• Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim → konsolidasi
• Patofisiologi : kontusio/cedera jaringan → edema dan reaksi inflamasi → lung compliance ↓ → ventilation-perfusion mismatch → hipoksia & work of breathing ↑

Diagnosis : ro toraks dan pemeriksaan lab (PaO2 ↓)
Manifestasi klinis dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma

Penatalaksanaan
Tujuan:
• Mempertahankan oksigenasi
• Mencegah/mengurangi edema
Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)


LASERASI PARU
Definisi : Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga.
Manifestasi klinik umumnya adalah : hemato + pneumotoraks

Penatalaksanaan umum : WSD
Indikasi operasi :
• Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)
• Adanya contiuous buble pada WSD yang menunjukkan adanya robekan paru
• Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas


RUPTUR DIAFRAGMA

• Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah toraks inferior atau abdomen atas.
• Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut.
• Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intratoraks ata intraabdominal).
• Ruptur umumnya terjadi di "puncak" kubah diafragma (sentral)
• Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering daripada diafragma kanan
• Akan terjadi herniasi organ viseral abdomen ke toraks
• Dapat terjadi ruptur ke intra perikardial

Diagnostik
• Riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen
• Tanda dan gejala klinis (sesak/respiratory distress), mual-muntah, tanda abdomen akut)
• Ro toraks dengan NGT terpasang (pendorongan mediastinum kontralateral, terlihat adanya organ viseral di toraks)
• CT scan toraks

Penatalaksanaan
Torakotomi eksplorasi (dapat diikuti dengan laparotomi)


TRAUMA ESOFAGUS

Penyebab trauma/ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus.
Pemeriksaan Ro toraks: Terlihat gambaran pneumomediastinum atau efusi pleura
Diagnostik: Esofagografi
Tindakan: Torakotomi eksplorasi


TRAUMA JANTUNG

Kecurigaan trauma jantung :
• Trauma tumpul di daerah anterior
• Fraktur pada sternum
• Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, grs mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri)

Diagnostik
• Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB / Troponin T)
• Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour pada mediastinum menunjukkan kecurigaan efusi perikardium
• Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade

Penatalaksanaan
1. Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi emergency
2. Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi.
3. Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk mengetahui adanya tamponade

Komplikasi
Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel beberapa bulan/tahun pasca trauma.

Trauma Thoraks I

Trauma toraks mencakup area anatomis leher dan toraks serta dapat menyebabkan kelainan pada sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem pencernaan. Menurut salah satu buku rujukan disebutkan angka mortalitas pada trauma toraks mencapai 10%. Akan tetapi kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah kematian total akibat kasus-kasus trauma.


Klasifikasi dan Mekanisme

Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.

1. Trauma tembus (tajam)
• Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma
• Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
• Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
2. Trauma tumpul
• Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
• Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
• Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
• Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi

Mekanisme
Akselerasi
• Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
• Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.
Deselerasi
• Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
Torsio dan rotasi
• Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
Blast injury
• Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.
• Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.

Faktor lain yang mempengaruhi
Sifat jaringan tubuh
• Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.
Lokasi
• Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
Arah trauma
• Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi.
• Perlu diingat adanya efek "ricochet" atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.

Kondisi Yang Berbahaya

Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan di-tatalaksana dengan segera:

1. Obstruksi jalan napas
• Tanda: dispnoe, wheezing, batuk darah
• PF:stridor, sianosis, hilangnya bunyi nafas
• Ro toraks: non-spesifik, hilangnya air-bronchogram, atelektasis
2. Tension pneumotoraks
• Tanda : dispnoe, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks, mediastinal shift
• Ro toraks (hanya bila pasien stabil) : pneumotoraks, mediastinal shift
3. Perdarahan masif intra-toraks (hemotoraks masif)
• Tanda: dispnoe, penampakan syok, hilang bunyi napas, perkusi pekak, hipotensif
• Ro toraks: opasifikasi hemitoraks atau efusi pleura
4. Tamponade
• Tanda: dispnoe, Trias Beck (hipotensi, distensi vena, suara jantung menjauh), CVP > 15
• Ro toraks: pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat
5. Ruptur aorta
• Tanda: tidak spesifik, syok
• Ro toraks: pelebaran mediastinum, penyempitan trakhea, efusi pleura
6. Ruptur trakheobronhial
• Tanda: Dispnoe, batuk darah
• Ro toraks: tidak spesifik, dapat pneumotoraks, hilangnya air-bronchograms
7. Ruptur diafragma disertai herniasi visera
• Tanda: respiratory distress yang progresif, suara usus terdengar di toraks
• Ro toraks : gastric air bubble di toraks, fraktur iga-iga terbawah, mediastinal shift
8. Flail chest berat dengan kontusio paru
• Tanda: dispnoe, syok, asimetris toraks, sianosis
• Ro toraks: fraktur iga multipel, kontusio paru, pneumotoraks, effusi pleura
9. Perforasi esofagus
• Tanda: Nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal
• Ro toraks: udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal-space, pelebaran mediastinum, efusi pleura, pneumotoraks

Penatalaksanaan Trauma Toraks

Prinsip
• Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary survey)
• Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)
• Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
• Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
• Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
• Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
• Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.

Primary Survey

Airway
Assessment :
• perhatikan patensi airway
• dengar suara napas
• perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
Management :
• inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
• re-posisi kepala, pasang collar-neck
• lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)

Breathing
Assesment
• Periksa frekwensi napas
• Perhatikan gerakan respirasi
• Palpasi toraks
• Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
Management:
• Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
• Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest

Circulation
Assesment
• Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
• Periksa tekanan darah
• Pemeriksaan pulse oxymetri
• Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management
• Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
• Torakotomi emergency bila diperlukan
• Operasi Eksplorasi vaskular emergency

Tindakan Bedah Emergency
1. Krikotiroidotomi
2. Trakheostomi
3. Tube Torakostomi
4. Torakotomi
5. Eksplorasi vaskular

TRAUMA THORAKS

Trauma toraks mencakup area anatomis leher dan toraks serta dapat menyebabkan kelainan pada sistem respirasi, sistem sirkulasi, dan sistem pencernaan. Menurut salah satu buku rujukan disebutkan angka mortalitas pada trauma toraks mencapai 10%. Akan tetapi kematian akibat trauma toraks merupakan 1/4 jumlah kematian total akibat kasus-kasus trauma.
1. Klasifikasi dan Mekanisme
Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.
• Trauma tembus (tajam)
- Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma
- Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
- Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi
• Trauma tumpul
- Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
- Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast injuries.
- Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
- Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
2. Mekanisme
 Akselerasi
• Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang menerima gaya perusak dari trauma tersebut.
• Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan besar lubang masuk peluru.
 Deselerasi
• Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta, organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada dinding toraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ tersebut.
 Torsio dan rotasi
• Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik tumpu atau poros-nya.
 Blast injury
• Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.
• Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.



3. Faktor lain yang mempengaruhi
 Sifat jaringan tubuh
• Jenis jaringan tubuh bukan merupakan mekanisme dari perlukaan, akan tetapi sangat menentukan pada akibat yang diterima tubuh akibat trauma. Seperti adanya fraktur iga pada bayi menunjukkan trauma yang relatif berat dibanding bila ditemukan fraktur pada orang dewasa. Atau tusukan pisau sedalam 5 cm akan membawa akibat berbeda pada orang gemuk atau orang kurus, berbeda pada wanita yang memiliki payudara dibanding pria, dsb.
 Lokasi
• Lokasi tubuh tempat trauma sangat menentukan jenis organ yang menderita kerusakan, terutama pada trauma tembus. Seperti luka tembus pada daerah pre-kordial.
 Arah trauma
• Arah gaya trauma atau lintasan trauma dalam tubuh juga sangat mentukan dalam memperkirakan kerusakan organ atau jaringan yang terjadi.
• Perlu diingat adanya efek "ricochet" atau pantulan dari penyebab trauma pada tubuh manusia. Seperti misalnya : trauma yang terjadi akibat pantulan peluru dapat memiliki arah (lintasan peluru) yang berbeda dari sumber peluru sehingga kerusakan atau organ apa yang terkena sulit diperkirakan.
4. Kondisi Yang Berbahaya
Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan mematikan bila tidak dikenali dan di-tatalaksana dengan segera:
 Obstruksi jalan napas
- Tanda: dispnoe, wheezing, batuk darah
- PF:stridor, sianosis, hilangnya bunyi nafas
- Ro toraks: non-spesifik, hilangnya air-bronchogram, atelektasis
 Tension pneumotoraks
- Tanda : dispnoe, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks, mediastinal shift
- Ro toraks (hanya bila pasien stabil) : pneumotoraks, mediastinal shift
 Perdarahan masif intra-toraks (hemotoraks masif)
- Tanda: dispnoe, penampakan syok, hilang bunyi napas, perkusi pekak, hipotensif
- Ro toraks: opasifikasi hemitoraks atau efusi pleura
 Tamponade
- Tanda: dispnoe, Trias Beck (hipotensi, distensi vena, suara jantung menjauh), CVP > 15
- Ro toraks: pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat
 Ruptur aorta
- Tanda: tidak spesifik, syok
- Ro toraks: pelebaran mediastinum, penyempitan trakhea, efusi pleura
 Ruptur trakheobronhial
- Tanda: Dispnoe, batuk darah
- Ro toraks: tidak spesifik, dapat pneumotoraks, hilangnya air-bronchograms
 Ruptur diafragma disertai herniasi visera
- Tanda: respiratory distress yang progresif, suara usus terdengar di toraks
- Ro toraks : gastric air bubble di toraks, fraktur iga-iga terbawah, mediastinal shift
 Flail chest berat dengan kontusio paru
- Tanda: dispnoe, syok, asimetris toraks, sianosis
- Ro toraks: fraktur iga multipel, kontusio paru, pneumotoraks, effusi pleura
 Perforasi esofagus
- Tanda: Nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal
- Ro toraks: udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal-space, pelebaran mediastinum, efusi pleura, pneumotoraks
5. Penatalaksanaan Trauma Toraks
 Prinsip
- Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary survey - secondary survey)
- Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)
- Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah : portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.
- Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.
- Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah melakukan prosedur penanganan trauma.
- Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).
- Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation) merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.
6. Primary Survey
 Airway
• Assesment
- perhatikan patensi airway
- dengar suara napas
- perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada
• Management
- inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan benda yang menghalangi jalan napas
- re-posisi kepala, pasang collar-neck
- lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)
 `Breathing
• Assesment
- Periksa frekwensi napas
- Perhatikan gerakan respirasi
- Palpasi toraks
- Auskultasi dan dengarkan bunyi napas
• Management
- Lakukan bantuan ventilasi bila perlu
- Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks, hemotoraks, flail chest

 Circulation
• Assesment
- Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi
- Periksa tekanan darah
- Pemeriksaan pulse oxymetri
- Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
• Management
- Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines
- Torakotomi emergency bila diperlukan
- Operasi Eksplorasi vaskular emergency

7. Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1:
Tidak efektifnya pertukaran gas/oksigen b.d kerusakan jalan nafas.
Tujuan :
Oksigenasi jaringan adekuat
Kriteria Hasil:
• Tidak ada tanda-tanda sianosis
• Frekuensi nafas 12 - 24 x/mnt
• SP O2 > 95
Intervensi :
1. Kaji airway, breathing, circulasi.
2. Kaji tanda-tanda distress nafas, bunyi, frekuensi, irama, kedalaman nafas.
3. Monitor tanda-tanda hypoxia(agitsi,takhipnea, stupor,sianosis)
4. Monitor hasil laboratorium, AGD, kadar oksihemoglobin, hasil oximetri nadi,
5. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemasangan endotracheal tube atau tracheostomi tube bila diperlukan.
6. Kolabolarasi dengan tim medis untuk pemasangan ventilator bila diperlukan.
7. Kolaborasi dengan tim medis untuik pemberian inhalasi terapi bila diperlukan
Diagnosa Keperawatan II: Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan nafas.
 Tujuan :
- Pasien dapat mempertahankan jalan nafas dengan bunyi nafas yang jernih dan ronchi (-)
- Pasien bebas dari dispneu
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan
- Memperlihatkan tingkah laku mempertahankan jalan nafas
 Intervensi :
- Catat perubahan dalam bernafas dan pola nafasnya
R : penggunaan otot-otot interkostal/abdominal/leher dapat meningkatkan usaha dalam bernafas
- Observasi dari penurunan pengembangan dada dan peningkatan fremitus
R : Pengembangan dada dapat menjadi batas dari akumulasi cairan dan adanya cairan dapat meningkatkan fremitus
- Catat karakteristik dari suara nafas
R : Suara nafas terjadi karena adanya aliran udara melewati batang tracheo branchial dan juga karena adanya cairan, mukus atau sumbatan lain dari saluran nafas
- Catat karakteristik dari batuk
R : Karakteristik batuk dapat merubah ketergantungan pada penyebab dan etiologi dari jalan nafas. Adanya sputum dapat dalam jumlah yang banyak, tebal dan purulent
- Pertahankan posisi tubuh/posisi kepala dan gunakan jalan nafas tambahan bila perlu
R : Pemeliharaan jalan nafas bagian nafas dengan paten
- Kaji kemampuan batuk, latihan nafas dalam, perubahan posisi dan lakukan suction bila ada indikasi
R : Penimbunan sekret mengganggu ventilasi dan predisposisi perkembangan atelektasis dan infeksi paru
- Peningkatan oral intake jika memungkinkan
R : Peningkatan cairan per oral dapat mengencerkan sputum
Kolaboratif
- Berikan oksigen, cairan IV ; tempatkan di kamar humidifier sesuai indikasi
R : Mengeluarkan sekret dan meningkatkan transport oksigen
- Berikan therapi aerosol, ultrasonik nabulasasi
R : Dapat berfungsi sebagai bronchodilatasi dan mengeluarkan sekret
- Berikan fisiotherapi dada misalnya : postural drainase, perkusi dada/vibrasi jika ada indikasi
R : Meningkatkan drainase sekret paru, peningkatan efisiensi penggunaan otot-otot pernafasan
- Berikan bronchodilator misalnya : aminofilin, albuteal dan mukolitik
R : Diberikan untuk mengurangi bronchospasme, menurunkan viskositas sekret dan meningkatkan ventilasi

thorax:

Dinding dada.
Tersusun dari tulang dan jaringan lunak. Tulang yang membentuk dinding dada adalah tulang iga, columna vertebralis torakalis, sternum, tulang clavicula dan scapula. Jarinan lunak yang membentuk dinding dada adalah otot serta pembuluh darah terutama pembuluh darah intrerkostalis dan torakalis interna.
Dasar torak
Dibentuk oleh otot diafragma yang dipersyarafi nervus frenikus. Diafragma mempunyai lubang untuk jalan Aorta, Vana Cava Inferior serta esofagus
Isi rongga torak.
Rongga pleura kiri dan kanan berisi paru-paru. Rongga ini dibatasi oleh pleura visceralis dan parietalis.
Rongga Mediastinum dan isinya terletak di tengah dada. Mediastinum dibagi menjadi bagian anterior, medius, posterior dan superior.
Fisiologi torak :
• Inspirasi : dilakukan secara aktif
• Ekspirasi : dilakukan secara pasif
• Fungsi respirasi :
Ø Ventilasi : memutar udara.
Ø Distribusi : membagikan
Ø Diffusi : menukar CO2 dan O2
Ø Perfusi : darah arteriel dibawah ke jaringan.
Patofisiologi trauma torak.
• Perubahan patofisiologi yang terjadi pada dasarnya adalah akibat dari :
1. Kegagalan ventilasi
2. Kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar.
3. Kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik.
• Ketiga faktor diatas dapat menyebabkan hipoksia. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya adult respiratory distress syndrome ( ARDS), systemic inflamation response syndrome (SIRS).
Klasifikasi trauma
§ Trauma tumpul
§ Trauma tembus : tajam, tembak, tumpul yang menembus.
ANATOMI RONGGA DADA / TORAK
Rongga dada dibagi menjadi 3 rongga utama yaitu ;
1. Rongga dada kanan (cavum pleura kanan )
2. Rongga dada kiri (cavum pleura kiri)
3. Rongga dada tengah (mediastinum).
RONGGA MEDIASTINUM
Rongga ini secara anatomi dibagi menjadi :
1. Mediastinum superior (gbr. 1), batasnya :
Atas : bidang yang dibentuk oleh Vth1, kosta 1 dan jugular notch.
Bawah : Bidang yang dibentuk dari angulus sternal ke Vth4
Lateral : Pleura mediastinalis
Anterior : Manubrium sterni.
Posterior : Corpus Vth1 - 4
2. Mediastinum inferior terdiri dari :
a. Mediastinum anterior (gbr. 2)
b. Mediastinum medius (gbr. 3)
c. Mediastinum Posterior.(gbr. 4 )
a. Mediastinum Anterior batasnya :
• Anterior : Sternum ( tulang dada )
• Posterior : Pericardium ( selaput jantung )
• Lateral : Pleura mediastinalis
• Superior : Plane of sternal angle
• Inferior : Diafragma.
b. Mediastinum Medium batasnya :
• Anterior : Pericardium
• Posterior ; Pericardium
• Lateral : Pleura mediastinalis
• Superior : Plane of sternal angle
• Inferior : Diafragma
c. Mediastinum posterior, batasnya :
• Anterior : Pericardium
• Posterior : Corpus VTh 5 – 12
• Lateral : Pleura mediastinalis
• Superior : Plane of sternal angle
• Inferior : Diafragma.
ANATOMI PLEURA
Pleura ( selaput paru ) adalah selaput tipis yang membungkus paru – paru :
Pleura terdiri dari 2 lapis yaitu ;
1. Pleura visceralis, selaput paru yang melekat langsung pada paru –paru.
2. Pleura parietalis, selaput paru yang melekat pada dinding dada.
• Pleura visceralis dan parietalis tersebut kemudian bersatu membentuk kantong tertutup yang disebut rongga pleura (cavum pleura). Di dalam kantong terisi sedikit cairan pleura yang diproduksi oleh selaput tersebut
Gejala Umum trauma torak
• Gejala yang sering dilihat pada trauma torak adalah : nyeri dada dan sesak nafas atau nyeri pada waktu nafas.
• Pasien tampak sakit, sesak atau sianotik dengan tanda trauma torak atau jejas pada dadanya. Lebih dari 90 % trauma toraks tidak memerlukan tindakan pembedahan berupa torakotomi, akan tetapi tindakan penyelamatan dini dan tindakan elementer perlu dilakukan dan diketahui oleh setiap petugas yang menerima atau jaga di unit gawat darurat. Tindakan penyelamatan dini ini sangat penting artinya untuk prognosis pasien dengan trauma toraks.
• Tindakan elementer ini adalah :
1. Membebaskan dan menjamin kelancaran jalan nafas.
2. Memasang infus dan resusitasi cairan.
3. Mengurangi dan menghilangkan nyeri.
4. Memantau keasadaran pasien.
5. Melakukan pembuatan x-ray dada kalau perlu dua arah.
• Trauma torak yang memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat/ segera adalah yang menunjukkan :
1. Obstruksi jalan nafas
2. Hemotorak massif
3. Tamponade pericardium / jantung
4. Tension pneumotorak
5. Flail chest
6. Pneumotorak terbuka
7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.
DIAGNOSIS BERBAGAI MACAM TRAUMA TORAK.
DINDING DADA :
1. Patah tulang rusuk, tunggal dan jamak :
• Merupakan jenis yang paling sering.
• Tanda utama adalah tertinggalnya gerakan nafas pada daerah yang patah, disertai nyeri waktu nafas dan atau sesak.
2. Flailchest :
• Akibat adanya patah tulang rusuk jamak yang segmental pada satu dinding dada.
• Ditandai dengan gerakan nafas yang paradoksal. Waktu inspirasi nampak bagian tersebut masuk ke dalam dan akan keluar waktu ekspirasi. Hal ini menyebabkan rongga mediastinum goncangan gerak ( flailing ) yang dapat menyebabkan insertion vena cava inferior terdesak dan terjepit.
• Gejala klinis yang nampak adalah keadaan sesak yang progressif dengan timbulnya tanda-tanda syok.
RONGGA PLEURA :
1. Pneumotorak :
• Disebabkan oleh robekan pleura dan atau terbukanya dinding dada. Dapat berupa pneumotorak yang tertutup dan terbuka atau menegang (“tension pneumotorak”). Kurang lebih 75 % trauma tusuk pneumotorak disertai hemotorak.
• Pneumotorak menyebabkan paru kollaps, baik sebagian maupun keseluruhan yang menyebabkan tergesernya isi rongga dada ke sisi lain. Gejalanya sesak nafas progressif sampai sianosis dengan gejala syok.
2. Hemotoraks :
• Adanya darah dalam rongga pleura. Dibagi menjadi hemotorak ringan bila jumlah darah sampai 300 ml saja. Hemotorak sedang bila jumlah darah sampai 800 ml dan hemotorak berat bila jumlah darah melebihi 800 ml.
• Gejal utamanya adalah syok hipovolemik .
3. Kerusakan paru:
• 75 % disebabkan oleh trauma torak ledakan. (“blast injury”) . Perdarahan yang terjadi umumnya terperangkap dalam parenkim paru
• Gejala klinis mengarah ke timbulnya distress nafas karena kekurangan kemampuan ventilasi. Perdarahan yang timbul akan membawa akibat terjadinya hipotensi dan gejala syok.
4. Kerusakan trakea, bronkus dan sistem trakeobronkoalveolar.
• Terjadi kebocoran jalan nafas yang umumnya melalui pleura atau bawah kulit bawah dada sehingga menimbulkan emfisema subkutis.
• Disebabkan oleh sebagian besar akibat trauma torak tumpul di daerah sternum
• Secara klinis leher membesar emfisematous dengan adanya krepitasi pada dinding dada. Sesak nafas sering menyertai dan dapat timbul tension pneumotorak.
5. Kerusakan jaringan jantung dan perikardium.
• Gejala klinis akan cepat menunjukkan gejala syok hipovolemik primer dan syok obstruktif primer. Bendungan vena di daerah leher merupakan tanda penyokong adanya tamponade ini. Juga akan nampak nadi paradoksal yaitu adanya penurunan nadi pada waktu inspirasi, yang menunjukkan adanya massa (cair) pada rongga pericardium yang tertutup.
• Penyebab tersering adalah trauma torak tajam di daerah parasternal II – V yang menyebabkan penetrasi ke jantung. Penyebab lain adalah terjepitnya jantung oleh himpitan sternum pada trauma tumpul torak.
• Melakukan fungsi perikardium yang mengalami tamponade dapat bertujuan diagnostik sekaligus langkah pengobatan dengan membuat dekompressi terhadap tamponadenya.
6. Kerusakan pada esofagus.
• Relatif jarang terjadi, menimbulkan nyeri terutama waktu menelan dan dalam beberapa jam timbul febris. Muntah darah / hematemesis, suara serak, disfagia atau distress nafas.
• Tanda klinis yang nampak umumnya berupa empisema sub kutis, syok dan keadaan umum pasien yang tidak nampak sehat. Sering dijumpai tanda “Hamman” yang berupa suara seperti mengunyah di daerah mediastinum atau jantung bila dilakukan auskultasi. Diagnosis dapat dibantu dengan melakukan esofagoram dengan menelan kontras.
7. Kerusakan Ductus torasikus:
• Menimbulkan gejala chylotoraks. Gejala klinis ditimbulkan oleh akumulasi chyle dalam rongga dada yang menimbulkan sesak nafas karena kollaps paru. Kejadian ini relatif jarang dan memerlukan pengelolaan yang lama dan cermat.
8. Kerusakan pada Diafragma :
• Disebabkan umumnya oleh trauma pada daerah abdomen, atau luka tembus tajam kearah torakoabdominal.
• Akan menimbulkan herniasi organ perut. Kanan lebih jarang dibandingkan kiri.
• Gejala klinis sering terlewatkan karena 30 % tidak memberikan tanda yang khas. Sesak nafas sering nampak dan disertai tanda-tanda pneumotoraks atau gejala hemotoraks.
LANGKAH DIAGNOSTIK
• Secara umum diagnosis secara klinis ditegakkan dari jenis kerusakan yang terjadi dan pembuatan x – ray foto dada. Bila memungkinkan maka x-ray foto sebaiknya dibuat dalam dua arah ( PA dan Lateral).
• Jejas pada daerah dada akan membantu adanya kemungkinan trauma torak. Bila ada trauma multiple maka dianjurkan untuk selalu dibuat foto x- ray dada.
• Tanda dan gejala penyerta seperti adanya syok (hipotensi, nadi cepat dan keringat dingin) dan adanya trauma lain organ dada merupakan butir diagnostik yang penting. Pemasangan NGT sebagai persiapan untuk pengosongan lambung untuk mencegah aspirasi isi labung ke paru, dapat dipakai sebagai langkah diagnostik pada kerusakan esofagus dan dan diafragma.
• Pada dasarnya diagnostik trauma torak harus ditegakkan secepat mungkin, tanpa memakai cara diagnostik yang lama ( Ct-scan, angiografi).
• Pemeriksaan gas darah dapat membantu diagnostik bila fasilitasnya ada.
INDIKASI TORAKOTOMI :
• Hemotoraks yang berat ( > 800 cc)
• Laserasi paru yang gagal dengan tindakan bedah konservatif.
• Tamponade perikardium
• Kebocoran trakeo-bronkial yang gagal dengan tindakan konservatif (drainase).
KOMPLIKASI TRAUMA TORAK:
1. Yang terkait dengan tidak stabilnya dinding dada :
• Nyeri berkepanjangan, meskipun luka sudah sembuh. Mungkin karena callus atau jaringan parut yang menekan saraf interkostal. Terapi konservatif dengan anlgesik atau pelunak jaringan parut.
• Osteomylitis, dilakukan squesterisasi dan fiksasi.
• Retensi sputum, karena batuk tidak adequat dan dapat menimbulkan pneumoni. Diperlukan pemberian mukolitik.
2. Yang terkait dengan perlukaan dan memar paru:
• Infiltrat paru dan efusi pleura, yang memerlukan pemasangan WSD untuk waktu yang lama.
• Empiema, yang terjadi lambat dan memerlukan WSD dan antibiotik.
• Pneumoni, merupakan komplikasi yang berbahaya dan perlu diberi pengobatan yang optimal. Bila distress pernafassan berkelanjutan maka diperlukan pemasangan respirator.
• Fistel bronkopleural, ditandai dengan gejala kolaps paru yang tidak membaik. Memerlukan tindak bedah lanjut berupa torakotomi eksploratif dan penutupan fistelnya.
• Chylotoraks lambat.
3. Komplikasi lain di luar paru dan pleura :
• Mediastinitis, merupakan komplikasi yang sering fatal. Bila terjadi pernanahan maka harus dilakukan drainase mediastinum.
• Fistel esofagus, dapat ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis atau ke pleura dan menimbulkana empiema atau efusi pleua. Diperlukan tindakan bedah untuk menutup fistel.
• Hernia diafragmatika lambat, memerlukan koreksi bedah.
• Kalainan jantung, terutama pada luka tembus dan trauma tajam pada jantung. Memerlukan tindakan bedah dan pembedahan jantung terbuka.

Pertolongan Pertama pada Gawat Darurat (PPGD)

Latar Belakang
B-GELS atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pertolongan Pertama Pada Gawat
Darurat (PPGD) adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada
kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian.
Di luar negeri, PPGD ini sebenarnya sudah banyak diajarkan pada orang-orang awam
atau orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui
oleh masyarakat Indonesia.
Melalui artikel ini, saya ingin sedikit memperkenalkan PPGD kepada pembaca sekalian.

Prinsip Utama
Prinsip Utama PPGD adalah menyelamatkan pasien dari kematian pada kondisi gawat
darurat. Kemudian filosofi dalam PPGD adalah “Time Saving is Life Saving”, dalam artian
bahwa seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-
benar efektif dan efisien, karena pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa
dalam hitungan menit saja ( henti nafas selama 2-3 menit dapat mengakibatkan kematian)

Langkah-langkah Dasar
Langkah-langkah dasar dalam PPGD dikenal dengan singkatan A-B-C-D ( Airway -
Breathing - Circulation - Disability ). Keempat poin tersebut adalah poin-poin yang harus
sangat diperhatikan dalam penanggulangan pasien dalam kondisi gawat darurat

Algortima Dasar PPGD
1.Ada pasien tidak sadar
2.Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
3.Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
4.Cek kesadaran pasien
a.Lakukan dengan metode AVPU
b.A --> Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
c. V --> Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di telinga
korban ( pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau menyentuh
pasien ), jika tidak merespon lanjut ke P
d.P --> Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal kuku), selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada (sternum) dan juga areal diatas mata
(supra orbital)
e.U --> Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive
5.Call for Help, mintalah bantuan kepada masyarakat di sekitar untuk menelpon ambulans

(118) dengan memberitahukan :
a.Jumlah korban
b.Kesadaran korban (sadar atau tidak sadar)
c. Perkiraan usia dan jenis kelamin ( ex: lelaki muda atau ibu tua)
d.Tempat terjadi kegawatan ( alamat yang lengkap)
6.Bebaskan lah korban dari pakaian di daerah dada ( buka kancing baju bagian atas agar
dada terlihat
7.Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang mendekati kepala sejajar
dengan bahu pasien

8.Cek apakah ada tanda-tanda berikut :
a.Luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas (supra clavicula)
b.Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal : terjatuh dari sepeda motor)
c. Berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher

9.Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada tulang
belakang bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena disini
tedapat syaraf-syaraf yg mengatur fungsi vital manusia (bernapas, denyut jantung)
a.Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift.

Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu (bagian dagu yang keras) ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi seperti figure berikut. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas korban.

b.Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust

Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.

10. Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi Airway (jalan napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien.

11. Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel


Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas), apakah gerakan tersebut simetris ?
Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang abnormal (bisa timbul karena ada hambatan sebagian)

Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :

a.Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut


b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).


c.Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust saja

Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka dapat dilakukan :

a.Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan daerah diantara tulang scapula di punggung

b.Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik tangan ke arah belakang atas.


c.Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.


Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban ?

12. Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernapasan pasien itu dalam 1 menit (Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit)

13. Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap melakukan Look Listen and Feel

14. Jika frekuensi nafas < 12-20 kali permenit, berikan nafas bantuan (detail tentang nafas bantuan dibawah)

15. Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan (detail tentang nafas buatan dibawah)

16. Setelah diberikan nafas buatan maka lakukanlah pengecekan nadi carotis yang terletak di leher (ceklah dengan 2 jari, letakkan jari di tonjolan di tengah tenggorokan, lalu gerakkan lah jari ke samping, sampai terhambat oleh otot leher (sternocleidomastoideus), rasakanlah denyut nadi carotis selama 10 detik.


17. Jika tidak ada denyut nadi maka lakukanlah Pijat Jantung(figure D dan E , figure F pada bayi), [detil tentang pijat jantung dijelaskan di bawah] diikuti dengan nafas buatan(figure A,B dan C)[detil tentang nafas buatan dijelaskan di bawah],ulang sampai 6 kali siklus pijat jantung-napas buatan, yang diakhiri dengan pijat jantung


18. Cek lagi nadi karotis (dengan metode seperti diatas) selama 10 detik, jika teraba lakukan Look Listen and Feel (kembali ke poin 11) lagi. jika tidak teraba ulangi poin nomer 17.

19. Pijat jantung dan nafas buatan dihentikan jika
a.Penolong kelelahan dan sudah tidak kuat lagi
b.Pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kematian (kaku mayat)
c.Bantuan sudah datang
d.Teraba denyut nadi karotis

20. Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda shock pada pasien :
a.Denyut nadi >100 kali per menit
b.Telapak tangan basah dingin dan pucat
c.Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi)

21. Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan mengangkat kaki pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke jantung


22. Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock menghilang

23. Jika ada pendarahan pada pasien, coba lah hentikan perdarahan dengan cara menekan atau membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)

24. Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan Look Listen and Feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.


Nafas Bantuan
Nafas Bantuan adalah nafas yang diberikan kepada pasien untuk menormalkan frekuensi nafas pasien yang di bawah normal. Misal frekuensi napas : 6 kali per menit, maka harus diberi nafas bantuan di sela setiap nafas spontan dia sehingga total nafas permenitnya menjadi normal (12 kali).
Prosedurnya :

1. Posisikan diri di samping pasien

2. Jangan lakukan pernapasan mouth to mouth langsung, tapi gunakan lah kain sebagai pembatas antara mulut anda dan pasien untuk mencegah penularan penyakit2

3. Sambil tetap melakukan chin lift, gunakan tangan yg tadi digunakan untuk head tilt untuk menutup hidung pasien (agar udara yg diberikan tidak terbuang lewat hidung).

4. Mata memperhatikan dada pasien

5. Tutupilah seluruh mulut korban dengan mulut penolong


6.Hembuskanlah nafas satu kali ( tanda jika nafas yg diberikan masuk adalah dada pasien mengembang)

7.Lepaskan penutup hidung dan jauhkan mulut sesaat untuk membiarkan pasien menghembuskan nafas keluar (ekspirasi)

8.Lakukan lagi pemberian nafas sesuai dengan perhitungan agar nafas kembali normal


Nafas Buatan
Cara melakukan nafas buatan sama dengan nafas bantuan, bedanya nafas buatan diberikan pada pasien yang mengalami henti napas. Diberikan 2 kali efektif (dada mengembang )



Pijat Jantung
Pijat jantung adalah usaha untuk “memaksa” jantung memompakan darah ke seluruh tubuh, pijat jantung dilakukan pada korban dengan nadi karotis yang tidak teraba. Pijat jantung biasanya dipasangkan dengan nafas buatan (seperti dijelaskan pada algortima di atas)

Prosedur pijat jantung :
1. Posisikan diri di samping pasien

2. Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest ( tepat ditengah-tengah dada)


3. Posisikan tangan tegak lurus korban seperti gambar


4.Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul (hip joint)

5.Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm (seperti gambar kiri bawah)


6. Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal (seperti gambar kanan atas)

7. Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan menghitung dapat dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :

Satu Dua Tiga EmpatSATU
Satu Dua Tiga Empat DUA
Satu Dua Tiga Empat TIGA
Satu Dua Tiga Empat EMPAT
Satu Dua Tiga Empat LIMA
Satu Dua Tiga Empat ENAM

8. Prinsip pijat jantung adalah :

a. Push deep
b. Push hard
c. Push fast
d. Maximum recoil (berikan waktu jantung relaksasi)
e. Minimum interruption (pada saat melakukan prosedur ini penolong tidak boleh diinterupsi)



Perlindungan Diri Penolong
Dalam melakukan pertolongan pada kondisi gawat darurat, penolong tetap harus senantiasa memastikan keselamatan dirinya sendiri, baik dari bahaya yang disebabkan karena lingkungan, maupun karena bahaya yang disebabkan karena pemberian pertolongan.


Poin-poin penting dalam perlindungan diri penolong :
1.Pastikan kondisi tempat memberi pertolongan tidak akan membahayakan penolong dan pasien
2.Minimasi kontak langsung dengan pasien, itulah mengapa dalam memberikan napas bantuan sedapat mungkin digunakan sapu tangan atau kain lainnya untuk melindungi penolong dari penyakit yang mungkin dapat ditularkan oleh korban
3.Selalu perhatikan kesehatan diri penolong, sebab pemberian pertolongan pertama adalah tindakan yang sangat memakan energi. Jika dilakukan dengan kondisi tidak fit, justru akan membahayakan penolong sendiri.


Penutup
Sekian tulisan ini penulis buat, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran dapat di alamatkan ke email.etja@gmail.com Semoga dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan terutama untuk penulis sendiri


Acknowledgements

Gambar-gambar yang digunakan pada tulisan ini didapat dari situs :
http://home.utah.edu/~mda9899/cprpics.html
http://www.toadspad.net/ems/graphics/cpr-head-tilt.jpg
http://www.toadspad.net/ems/graphics/cpr-head-tilt2.gif
http://z.about.com/f/p/440/graphics/images/en/18158.jpg
http://www.medtrng.com/cls2000a/fig11-1.gif

Penulis mengucapkan terimakasih atas segala ilmu yang diberikan oleh seluruh co-instructor PPGD FK UNAIR, bagian anaesthesiologi dan reanimasi RSUD Dr.Soetomo