Minggu, 31 Agustus 2008

ATRESIA ANI

1. Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.
Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan.
4. Kelainan tulang belakang.
3. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.
3. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <>
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara <>
4. Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.

7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
2. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
3. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
4. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
g. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.

8. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan Medis
1. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
2. Colostomi sementara
2. Penatalaksanaan Keperawatan
2.1 Pengkajian
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi :
1. Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.
2. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
3. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley & Wong,1996).
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
5. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.
7. Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993).

8. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges,1993).
9. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).
10. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).
11. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).
2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).
2. Diagnosa Keperawatan
Data yang diperoleh perlu dianalisa terlebih dahulu sebelum mengemukkan diagnosa keperawatan, sehingga dapat diperoleh diagnosa keperawatan yang spesifik. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu:
a. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993).
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).
d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
5. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi (Suriadi,2001).
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1993).
7. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1993).
8. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan secket berlebih (Doenges,1993).
9. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Whaley & Wong,1996).
2. Intervensi Keperawatan
Fokus intervensi keperawatan pada atresia ani adalah sebagai berikut :
1. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
Tujuan yang diharapkan yaitu terjadi peningkatan fungsi usus, dengan kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja,tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan.
Intervensi :
1. Dilatasikan anal sesuai program.
2. Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi gangguan integritas kulit, dengan kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi :
1. Kaji area stoma.
2. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
3. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.
4. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran stoma.
5. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.
Intervensi :
1. Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau perawatan.
2. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
3. Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.
4. Pantau dan batasi pengunjung , beri isolasi jika memungkinkan.
5. Beri antibiotik sesuai advis dokter.
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret berlebih (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas, mengeluarkan sekret tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas bersih, menunjukkan perilaku perbaikan jalan nafas misalnya, batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
1. Kaji fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot tambahan.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif, catat karakter, jumlah spuntum, adanya hemaptoe.
3. Berikan posisi semi fowler dan Bantu pasien untuk batuk efektif dan latihan nafas dalam.
4. Bersihkan secret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan.
5. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
6. Kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi, dengan kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium normal, bebas tanda mal nutrisi.
Intervensi :
1. Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.
2. Kaji kesukaan makanan anak.
3. Beri makan sedikit tapi sering.
4. Pantau berat badan secara periodik.
5. Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk makan.
6. Beri perawatan mulut sebelum makan.
7. Berikan isirahat yang adekuat.
8. Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori sesuai program diit.
6. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi.(Suriadi,2001;159)
Tujuan yang diharapkan adalah memberi support emosional pada keluarga, dengan kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan.

Intervensi :
1. Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
2. Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.
3. Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.
4. Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.
5. Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan pengkajian.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien akan tampak rileks, dengan kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
Intervensi :
1. Tanyakan pada pasien tentang nyeri.
2. Catat kemungkinan penyebab nyeri.
3. Anjurkan pemakaian obat dengan benar untuk mengontrol nyeri.
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi.
6. Resiko tinggi terhadap konstipasi berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan diit (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah pola eliminasi sesuai kebutuhan, dengan kriteria hasil : BAB 1x/hari, feses lunak, tidak ada rasa nyeri saat defekasi.
Intervensi :
1. Auskultasi bising usus.
2. Observasi pola diit dan itake cairan
6. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien mau menerima kondisi dirinya sekarang, dengan kriteria hasil : pasien mentatakan menerima perubahan ke dalam konsep diri tanpa harga diri rendah, menunjukkan penerimaan dengan merawat stoma tersebut, menyatakan perasaannya tentang stoma.
Intervensi :
1. Kaji persepsi pasien tentang stoma.
2. Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya.
3. Kaji ulang tentang alasan pembedahan.
4. Observasi perilaku pasien.
5. Berikan kesempatan pada pasien untuk merawat stomanya.
6. Hindari menyinggung perasaan pasien atau pertahankan hubungan positif.
6. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Walley & Wong,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah, dengan kriteria hasil keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawata untuk bayi di rumah.
Intervensi :
1. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan.
2. Ajarkan untuk mengenal tanda – tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
3. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal secara tepat.
4. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat)
2.5 Implementasi Keperawatan
Seperti tahap lainnya dalam proses keperawatan fase pelaksanaan terdiri dari : validasi rencana keperawatan, dokumentasi rencana keperawatan dan melakukan tindakan keperawatan.
1. Validasi rencana keperawatan
Suatu tindakan untuk memberikan kebenaran. Tujuan validasi data adalah menekan serendah mungkin terjadinya kesalahpahaman, salah persepsi. Karena adanya potensi manusia berbuat salah dalam proses penilaian.
2. Dokumentasi rencana keperawatan
Agar rencana perawatan dapat berarti bagi semua pihak, maka harus mempunyai landasan kuat, dan bermanfaat secara optimal. Perawat hendaknya mengadakan pertemuan dengan tim kesehatan lain untuk membahas data, masalah, tujuan serta rencana tindakan.
3. Tindakan keperawatan
Meskipun perawat sudah mengembangkan suatu rencana keperawatan yang maksimal, kadang timbul situasi yang bertentangan dengan tindakan yang direncanakan, maka kemampuan perawat diuji untuk memodifikasi alat maupun situasi.
6. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terus menerus dengan melibatkan klien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan keehatan dan strategi evaluasi. Tujuan dari evaluasi adalah menilai apakah tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak.

Tidak ada komentar: